Selasa, 10 November 2015

mengapa kita dilarang mencela jenazah?


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
         Permasalahan dalam Hadist Tarbawy adalah permasalahan yang sangat vital yang ada dalam ajaran islam, karena mengandung begitu penting maknanya. Hadist Tarbawy menjadi hal paling prinsip di dalam islam yang memiliki kedudukan dalam keimanan seseorang kepada Allah swt. Manusia di dalam kehidupan ini di kelilingi oleh banyak perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt. Dan agar manusia bahagia di dalam hidupnya, ia harus patuh dan taat terhadap larangan Allah swt,  itu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud  dengan jenazah?
2.      Mengapa kita dilarang mencela jenazah?
C.    Tujuan Penulisa
1.      Untuk mengetahui pengertian jenazah.
2.      Untuk mengetahui larangan mencelah jenazah.
D.    Manfaat Penulisan
Untuk di ketahui bahwa kita tidak boleh mencelah jenazah atau orang yang sudah meninggal dunia.








BAB II
PEMBAHASAN

A.     PENGERTIAN JENASAH
Jenazah adalah orang yang sudah meninggal dunia. Dengan adanya pengurusan jenazah, seperti memandikan, mengkafani dan  menshalatkan ,atau proses lainya yang berdasarkan atas pengetahuan agama-agama lainya. Pengurusan jenzah ini biasanya dilakukan oleh keluarganya sendiri dengan dukungan pemuka agama.[1]
B.     LARANGAN MENCELA ORANG YAG SUDAH MENINGGAL DUNIA.
 Di dalam hidup bermasyarakat, seorang Muslim perlu membawa diri dan menampakkan akhlaq yang mulia sehingga menjadi contoh dan teladan yang baik bagi manusia. Sehingga, apabila suatu ketika berpisah dengan masyarakat tersebut, maka kenangan yang baiklah yang selalu mereka ingat dari dirinya.
      Sebaliknya, bila selama hidup bermasyarakat tersebut dia tidak bisa membawa diri dan berprilaku sebagai seorang Muslim yang beriman bahkan selalu membuat masalah dengan prilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka manakala berpisah dengan lingkungan tersebut, hanya kenangan yang jeleklah yang selalu diingat dari dirinya. Dan hal ini semua biasanya terus berlaku hingga seseorang itu meninggalkan dunia yang fana ini.Realita yang berkembang di suatu komunitas masyarakat mendukung sistem diatas. Kita sering mendengar, misalnya:
ada seorang yang kaya raya tetapi ta'at beragama dan amat dermawan sehingga masyarakat di lingkungannya merasakan sekali sentuhan tangan dan budi baiknya tersebut. Maka, bila suatu ketika orang tersebut ditakdirkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala mendapatkan kecelakaan lantas meninggal dunia. Pastilah, yang akan kita dengar dari mulut mereka ungkapan yang menyayangkan kenapa orang sebaik itu harus dipanggil oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala secepat itu padahal masyarakat masih membutuhkan uluran tangannya, dan seterusnya.
Demikian pula, kita sering mendengar hal sebaliknya yaitu bila seseorang misalnya:, selalu membikin ulah di lingkungannya; menelantarkan keluarganya, merampok, memeras, menakut-nakuti orang-orang lemah sehingga mereka merasa tidak aman dengan kehadirannya. Maka, bila suatu ketika orang tersebut ditakdirkan oleh Allah mendapat kecelakaan lantas meninggal dunia. Tentu, masyarakat di sekitarnya akan merasa lega dan akan berkata di dalam hati mereka atau bahkan berbincang-bincang antara sesama mereka bila bertemu dan berkumpul: biar dia rasakan bagaimana azab kubur nanti untung si jelek itu sudah mati memang sudah pantas dia mampus biar nanti di neraka dia rasakan akibatnya. Atau barang kali yang lebih ekstrem lagi dan karena kebencian yang ingin diluapkannya, bisa saja orang seperti ini mendatangi kuburannya sembari berkata diatas kuburannya tersebut: ayo rasakan sekarang pembalasannya, makanya jadi orang jangan jahat ini aku disini, mau apa! sambil menginjak-injak kuburannya atau merusaknya.

Ekspresi yang tampak pada contoh pertama, yaitu terhadap orang yang baik budi pekertinya semasa masih hidup tersebut, secara agama tidak masalah dan tidak memiliki implikasi apa-apa selama masih dalam batas kewajaran. Akan tetapi, ekspresi yang ditampakkan di dalam contoh kedua, yaitu terhadap orang yang jelek budi pekertinya semasa hidupnya, secara agama bermasalah dan memiliki implikasi-implikasi.
Nah, apakah hal itu dibolehkan menurut agama? Maka kajian hadits kali ini menyoroti masalah tersebut secara singkat, semoga bermanfa'at. Wallaahu a'lam 
Naskah Hadits
Dari 'Aisyah radhiallaahu anha, dia berkata: Nabi Shallallhu alaihi wasallam bersabda: janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan.(HR: al-Bukh'riy).
  Beberapa Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Hadits Diatas
      Hadits diatas menunjukkan bahwa haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang yang sudah mati. Hadits tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin dan orang-orang kafir juga.
          Hikmah dari pelarangan tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan pada bagian akhir hadits tersebut, yaitu karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan.
        Maksudnya adalah bahwa mereka telah mencapai perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan baik berupa perbuatan yang shalih atau sebaliknya.
       Tidak ada gunanya mencela, mencacimaki, menjelek-jelekkan kehormatan, mengungkit-ungkit kejahatan dan perbuatan-perbuatan mereka sebab hal itu terkadang berimplikasi terhadap keluarganya yang masih hidup, yaitu menyakiti hati mereka.
  Ibnu al-Ats'r berkata di dalam kitabnya Usud al-Gh'bah : Ketika Ikrimah bin Abu Jahal masuk Islam, banyak orang-orang yang berkata: wah!, ini adalah anak musuh Allah, Abu Jahal. Ucapan ini menyakiti hati Ikrimah karenanya dia mengadukan perihal tersebut kepada Rasulullah Shallallhu 'alaihi wasallam, lantas beliau bersabda: Janganlah kalian mencela ayahnya karena mencela orang yang sudah mati, akan menyakiti orang yang masih hidup (keluarganya).
  Imam an-Nawawiy berkata: Ketahuilah, bahwa ghibah (membicarakan kejelekan orang lain ketika orangnya tidak ada di tempat) dibolehkan bila dimaksudkan untuk tujuan yang benar dan disyari'atkan dimana tidak mungkin untuk ditempuh selain dengan cara itu. Kemudian beliau menyebutkan: diantaranya; untuk memperingatkan kaum muslimin dari suatu kejahatan dan untuk menashihati mereka.
          Hal ini dapat ditempuh melalui beberapa sisi, diantaranya (seperti di dalam ilmu hadits-red); boleh men-jarh (mencacati) para periwayat dan para saksi yang dikenal sebagai al-Majrhn (orang-orang yang dicacati karena riwayat yang disampaikannya tidak sesuai dengan kriteria riwayat yang boleh diterima baik dari sisi individunya, seperti hafalannya lemah, dan lain sebagainya-red); maka, hal seperti ini secara ijma kaum Muslimin adalah dibolehkan bahkan wajib hukumnya.
         Diantaranya lagi, dengan tujuan memperkenalkan seseorang bila dia dikenal dengan julukan tertentu seperti al-A'masy (si picak), al-A'raj (si pincang), al-Ashamm (si tuli), dan sebagainya. Sedangkan bila julukan itu dilontarkan untuk tujuan merendahkan maka haram hukumnya. Oleh karena itu, lebih baik lagi menghindari penggunaan julukan semacam itu sedapat mungkin.
         Di dalam menyikapi orang-orang yang sudah mati, mazhab Ahlussunnah wal Jama'ah adalah bahwa kita berharap agar orang yang berbuat baik dari mereka diberi ganjaran pahala oleh Allah, dirahmati dan tidak disiksa olehNya. Sedangkan terhadap orang yang berbuat buruk, kita mengkhawatirkan dirinya disiksa karena dosa-dosa dan keburukan yang diperbuatnya. Kita juga tidak bersaksi terhadap seseorang bahwa dia ahli surga atau ahli neraka kecuali orang yang sudah dipersaksikan oleh Rasululloh Shallall'hu 'alaihi wasallamdengan hal itu.
         Diharamkan berburuk sangka terhadap seorang Muslim yang secara lahirnya adalah lurus, berbeda dengan orang yang secara lahirnya memang fasiq maka tidak berdosa bila berburuk sangka terhadapnya.
(Sumber Rujukan: Materi bahasan hadits diambil dari kitab Taudlh al-Ahk'm min Bul'gh al-Marm karya Syaikh. Abdullah bin Abdurrahman al-Bass'm, Juz VI, hal. 346, hadits no. 1312).
BAB III
PENUTUP
A.     Simpulan
A.    Pengertian jenazah.
  Jenazah adalah orang yang sudah meninggal dunia. Dengan adanya pengurusan jenazah, seperti memandikan, mengkafani dan  menshalatkan ,atau proses lainya yang berdasarkan atas pengetahuan agama-agama lainya. Pengurusan jenzah ini biasanya dilakukan oleh keluarganya sendiri dengan dukungan pemuka agama.
B.     Larangan mencela orang yang sudah meninggal.
Hadits diatas menunjukkan bahwa haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang yang sudah mati. Hadits tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin dan orang-orang kafir juga.
Hikmah dari pelarangan tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan pada bagian akhir hadits tersebut, yaitu karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan.
Maksudnya adalah bahwa mereka telah mencapai perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan baik berupa perbuatan yang shalih atau sebaliknya.
Tidak ada gunanya mencela, mencacimaki, menjelek-jelekkan kehormatan, mengungkit-ungkit kejahatan dan perbuatan-perbuatan mereka sebab hal itu terkadang berimplikasi terhadap keluarganya yang masih hidup, yaitu menyakiti hati mereka.
B.     Saran
        Dengan terselesainya makalah ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mendukung dari pembaca agar penyusunanan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Karena makalah ini masih terdapat kesalahan baik dari segi pengetikan maupun dari segi penyusunaan. Dan semoga penyusun dan pembaca dapat mengerti dan memahami materi dalam makah ini tentang Larangan Mencela Orang Yang Sudah Meninggal.
DAFTAR PUSTAKA

http://manhajislam.wordpress.com/2007/01/05/larangan-mencela-orang-yang-sudah-mati/
Imam Muhammad Abdul, Jenazah,Jakarta: mitra pustaka,2004.




[1]Abdul Muhammad Ibnu Abdul, Jenazah, (Cet,1;Jakarta, 2004) h.52BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
         Permasalahan dalam Hadist Tarbawy adalah permasalahan yang sangat vital yang ada dalam ajaran islam, karena mengandung begitu penting maknanya. Hadist Tarbawy menjadi hal paling prinsip di dalam islam yang memiliki kedudukan dalam keimanan seseorang kepada Allah swt. Manusia di dalam kehidupan ini di kelilingi oleh banyak perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt. Dan agar manusia bahagia di dalam hidupnya, ia harus patuh dan taat terhadap larangan Allah swt,  itu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud  dengan jenazah?
2.      Mengapa kita dilarang mencela jenazah?
C.    Tujuan Penulisa
1.      Untuk mengetahui pengertian jenazah.
2.      Untuk mengetahui larangan mencelah jenazah.
D.    Manfaat Penulisan
Untuk di ketahui bahwa kita tidak boleh mencelah jenazah atau orang yang sudah meninggal dunia.








BAB II
PEMBAHASAN

A.     PENGERTIAN JENASAH
Jenazah adalah orang yang sudah meninggal dunia. Dengan adanya pengurusan jenazah, seperti memandikan, mengkafani dan  menshalatkan ,atau proses lainya yang berdasarkan atas pengetahuan agama-agama lainya. Pengurusan jenzah ini biasanya dilakukan oleh keluarganya sendiri dengan dukungan pemuka agama.[1]
B.     LARANGAN MENCELA ORANG YAG SUDAH MENINGGAL DUNIA.
 Di dalam hidup bermasyarakat, seorang Muslim perlu membawa diri dan menampakkan akhlaq yang mulia sehingga menjadi contoh dan teladan yang baik bagi manusia. Sehingga, apabila suatu ketika berpisah dengan masyarakat tersebut, maka kenangan yang baiklah yang selalu mereka ingat dari dirinya.
      Sebaliknya, bila selama hidup bermasyarakat tersebut dia tidak bisa membawa diri dan berprilaku sebagai seorang Muslim yang beriman bahkan selalu membuat masalah dengan prilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka manakala berpisah dengan lingkungan tersebut, hanya kenangan yang jeleklah yang selalu diingat dari dirinya. Dan hal ini semua biasanya terus berlaku hingga seseorang itu meninggalkan dunia yang fana ini.Realita yang berkembang di suatu komunitas masyarakat mendukung sistem diatas. Kita sering mendengar, misalnya:
  ada seorang yang kaya raya tetapi ta'at beragama dan amat dermawan sehingga masyarakat di lingkungannya merasakan sekali sentuhan tangan dan budi baiknya tersebut. Maka, bila suatu ketika orang tersebut ditakdirkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala mendapatkan kecelakaan lantas meninggal dunia. Pastilah, yang akan kita dengar dari mulut mereka ungkapan yang menyayangkan kenapa orang sebaik itu harus dipanggil oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala secepat itu padahal masyarakat masih membutuhkan uluran tangannya, dan seterusnya.
Demikian pula, kita sering mendengar hal sebaliknya yaitu bila seseorang misalnya:, selalu membikin ulah di lingkungannya; menelantarkan keluarganya, merampok, memeras, menakut-nakuti orang-orang lemah sehingga mereka merasa tidak aman dengan kehadirannya. Maka, bila suatu ketika orang tersebut ditakdirkan oleh Allah mendapat kecelakaan lantas meninggal dunia. Tentu, masyarakat di sekitarnya akan merasa lega dan akan berkata di dalam hati mereka atau bahkan berbincang-bincang antara sesama mereka bila bertemu dan berkumpul: biar dia rasakan bagaimana azab kubur nanti untung si jelek itu sudah mati memang sudah pantas dia mampus biar nanti di neraka dia rasakan akibatnya. Atau barang kali yang lebih ekstrem lagi dan karena kebencian yang ingin diluapkannya, bisa saja orang seperti ini mendatangi kuburannya sembari berkata diatas kuburannya tersebut: ayo rasakan sekarang pembalasannya, makanya jadi orang jangan jahat ini aku disini, mau apa! sambil menginjak-injak kuburannya atau merusaknya.

  Ekspresi yang tampak pada contoh pertama, yaitu terhadap orang yang baik budi pekertinya semasa masih hidup tersebut, secara agama tidak masalah dan tidak memiliki implikasi apa-apa selama masih dalam batas kewajaran. Akan tetapi, ekspresi yang ditampakkan di dalam contoh kedua, yaitu terhadap orang yang jelek budi pekertinya semasa hidupnya, secara agama bermasalah dan memiliki implikasi-implikasi.
Nah, apakah hal itu dibolehkan menurut agama? Maka kajian hadits kali ini menyoroti masalah tersebut secara singkat, semoga bermanfa'at. Wallaahu a'lam 
Naskah Hadits

Dari 'Aisyah radhiallaahu anha, dia berkata: Nabi Shallallhu 'alaihi wasallam bersabda: janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan.(HR: al-Bukhariy).
  Beberapa Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Hadits Diatas
      Hadits diatas menunjukkan bahwa haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang yang sudah mati. Hadits tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin dan orang-orang kafir juga.
          Hikmah dari pelarangan tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan pada bagian akhir hadits tersebut, yaitu karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan.
        Maksudnya adalah bahwa mereka telah mencapai perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan baik berupa perbuatan yang shalih atau sebaliknya.
       Tidak ada gunanya mencela, mencacimaki, menjelek-jelekkan kehormatan, mengungkit-ungkit kejahatan dan perbuatan-perbuatan mereka sebab hal itu terkadang berimplikasi terhadap keluarganya yang masih hidup, yaitu menyakiti hati mereka.
  Ibnu al-Atsr berkata di dalam kitabnya Usud al-Gh'bah : Ketika Ikrimah bin Abu Jahal masuk Islam, banyak orang-orang yang berkata: wah!, ini adalah anak musuh Allah, Abu Jahal. Ucapan ini menyakiti hati Ikrimah karenanya dia mengadukan perihal tersebut kepada Rasulullah Shallallhu alaihi wasallam, lantas beliau bersabda: Janganlah kalian mencela ayahnya karena mencela orang yang sudah mati, akan menyakiti orang yang masih hidup (keluarganya).
  Imam an-Nawawiy berkata: Ketahuilah, bahwa ghibah (membicarakan kejelekan orang lain ketika orangnya tidak ada di tempat) dibolehkan bila dimaksudkan untuk tujuan yang benar dan disyari'atkan dimana tidak mungkin untuk ditempuh selain dengan cara itu. Kemudian beliau menyebutkan: diantaranya; untuk memperingatkan kaum muslimin dari suatu kejahatan dan untuk menashihati mereka.
          Hal ini dapat ditempuh melalui beberapa sisi, diantaranya (seperti di dalam ilmu hadits-red); boleh men-jarh (mencacati) para periwayat dan para saksi yang dikenal sebagai al-Majrhn (orang-orang yang dicacati karena riwayat yang disampaikannya tidak sesuai dengan kriteria riwayat yang boleh diterima baik dari sisi individunya, seperti hafalannya lemah, dan lain sebagainya-red); maka, hal seperti ini secara ijma kaum Muslimin adalah dibolehkan bahkan wajib hukumnya.
         Diantaranya lagi, dengan tujuan memperkenalkan seseorang bila dia dikenal dengan julukan tertentu seperti al-A'masy (si picak), al-A'raj (si pincang), al-Ashamm (si tuli), dan sebagainya. Sedangkan bila julukan itu dilontarkan untuk tujuan merendahkan maka haram hukumnya. Oleh karena itu, lebih baik lagi menghindari penggunaan julukan semacam itu sedapat mungkin.
         Di dalam menyikapi orang-orang yang sudah mati, mazhab Ahlussunnah wal Jama'ah adalah bahwa kita berharap agar orang yang berbuat baik dari mereka diberi ganjaran pahala oleh Allah, dirahmati dan tidak disiksa olehNya. Sedangkan terhadap orang yang berbuat buruk, kita mengkhawatirkan dirinya disiksa karena dosa-dosa dan keburukan yang diperbuatnya. Kita juga tidak bersaksi terhadap seseorang bahwa dia ahli surga atau ahli neraka kecuali orang yang sudah dipersaksikan oleh Rasululloh Shallallhu 'alaihi wasallamdengan hal itu.
         Diharamkan berburuk sangka terhadap seorang Muslim yang secara lahirnya adalah lurus, berbeda dengan orang yang secara lahirnya memang fasiq maka tidak berdosa bila berburuk sangka terhadapnya.
(Sumber Rujukan: Materi bahasan hadits diambil dari kitab Taudlh al-Ahk'm min Bulgh al-Marm karya Syaikh. Abdullah bin Abdurrahman al-Bass'm, Juz VI, hal. 346, hadits no. 1312).
BAB III
PENUTUP
A.     Simpulan
A.    Pengertian jenazah.
  Jenazah adalah orang yang sudah meninggal dunia. Dengan adanya pengurusan jenazah, seperti memandikan, mengkafani dan  menshalatkan ,atau proses lainya yang berdasarkan atas pengetahuan agama-agama lainya. Pengurusan jenzah ini biasanya dilakukan oleh keluarganya sendiri dengan dukungan pemuka agama.
B.     Larangan mencela orang yang sudah meninggal.
Hadits diatas menunjukkan bahwa haram hukumnya mencaci maki atau mencela orang-orang yang sudah mati. Hadits tersebut bersifat umum sehingga mencakup kaum Muslimin dan orang-orang kafir juga.
Hikmah dari pelarangan tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan pada bagian akhir hadits tersebut, yaitu karena mereka itu sudah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan.
Maksudnya adalah bahwa mereka telah mencapai perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan baik berupa perbuatan yang shalih atau sebaliknya.
Tidak ada gunanya mencela, mencacimaki, menjelek-jelekkan kehormatan, mengungkit-ungkit kejahatan dan perbuatan-perbuatan mereka sebab hal itu terkadang berimplikasi terhadap keluarganya yang masih hidup, yaitu menyakiti hati mereka.
B.     Saran
        Dengan terselesainya makalah ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mendukung dari pembaca agar penyusunanan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Karena makalah ini masih terdapat kesalahan baik dari segi pengetikan maupun dari segi penyusunaan. Dan semoga penyusun dan pembaca dapat mengerti dan memahami materi dalam makah ini tentang Larangan Mencela Orang Yang Sudah Meninggal.
DAFTAR PUSTAKA

http://manhajislam.wordpress.com/2007/01/05/larangan-mencela-orang-yang-sudah-mati/
Imam Muhammad Abdul, Jenazah,Jakarta: mitra pustaka,2004.



[1]Abdul Muhammad Ibnu Abdul, Jenazah, (Cet,1;Jakarta, 2004) h.52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar