BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT. atas hamba-Nya dalam bentuk perintah atau larangan adalah mengandung maslahat. Tidak ada hukum syara' yang sepi dari maslahat. Seluruh perintah Allah bagi manusia untuk melakukannya mengandung manfaat untuk dirinya baik secara langsung maupun tidak. Manfaat itu ada yang dapat dirasakannya pada waktu itu juga dan ada yang dirasakan sesudahnya. Contohnya Allah menyuruh sholat yang mengandung banyak manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan jasmani.
Begitu pula dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia. Di balik larangan itu terkandung kemaslahatan, yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan. Contohnya larangan meminum minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari mabuk yang dapat merusak tubuh, jiwa (mental), dan akal.
Semua ulama sependapat dengan adanya kemaslahatan dalam hukum yang ditetapkan Allah. Namun mereka berbeda pendapat tentang apakah karena untuk mewujudkan maslahat itu Allah menetapkan hukum syara. Atau dengan kata lain, apakah maslahat itu yang mendorong Allah menetapkan hukum, atau karena ada sebab lain?
Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah tersebut, tetapi perbedaan pendapat itu tidak memberi pengaruh apa-apa secara praktis dalam hukum. Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah mentepakan hukum bukan karena terdorong untuk mendatangkan kemaslahatan, tetapi semata-mata karena iradat dan qodrat-Nya. Tidak satupun yang mendesak, mendorong atau memaksa Allah menetapkan hukum. Ia berbuat sesuai dengan kehendak-Nya.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa tujuan Allah menetapkan hukum adalah untuk mendatangkan kemaslahatan, karena kasih sayang-Nya, maka ia menginginkan hamba-Nya selalu berada dalam kemaslahatan.
Terlepas dari beda pendapat tersebut, yang jelas bahwa dalam setiap perbuatan yang mengandung kebaikan dalam pandangan manusia, maka biasanya untuk perbuatan itu terdapat hukum syara' dalam bentuk perintah. Sebaliknya, pada setiap perbuatan yang dirasakan manusia mengandung kerusakan, maka biasanya untuk perbuatan itu ada hukum syara dalam bentuk larangan. Setiap hukum syara' selalu sejalan dengan akal manusia, dan akal manusia selalu sejalan dengan hukum syara'.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dasar dan syarat-syarat berlakunya maslahah mursalah?
2. Bagaimana pro dan kontra fuqaha terhadap maslahah mursalah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dasar dan syarat-syarat berlakunya maslahah mursalah.
2. Untuk mengetahui pro dan kontra fuqaha terhadap maslahah mursalah.
D. Manfaat Penulisan
1. Dapat menetapkan hukum berdasarkan maslahat (kebaikan, kepentingan yang tidak ada ketentuan dari syara', baik ketentuan secara umum atau secara khusus.
2. Memahami hukum berdasarkan maslahat suatu masalah.
3. Memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum agama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maslahah Mursalah dan Pembagiannya
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah musrsalah ialah pembinaan (penetapan) hukum berdasarkan maslahat (kebaikan, kepentingan yang tidak ada ketentuan dari syara', baik ketentuan secara umum atau secara khusus[1].
Jadi maslahah tersebut dalam umumnya maslahah yang bisa mendatangkan kegunaan (manfaat) dan bisa menjauhkan keburukan (kerugian), serta hendak diwujudkan oleh kedatangan syariat Islam, di samping adanya nas-nas syara' dan dasar-dasarnya yang menyuruh kita untuk memperhatikan marsalah tersebut untuk semua lapangan hidup, tetapi syara' tidak menetukan satu-persatunya smaslahah tersebut maupun macam keseluruhannya. Oleh karena itu maka marsalah tersebut dinamai mursal artinya dengan tidak terbatas[2].
Adapun pengertian maslahah mursalah menurut para ahli sebagai berikut[3]:
1. Abdul Wahab Khalaf
Maslahah yaitu maslahah yang ketentuan hukumnya tidak digariskan oleh Tuhan dan tidak ada dalil syara yang menunjukkan tentang kebolehan dan ketidakbolehan maslahah tersebut.
2. Abu Zahrah
Maslahah atau istislah yaitu segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syar'i (dalam menentukan hukum) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjuk tentang diakui atau tidaknya.
3. Yusuf Musa
Maslahah yaitu segala kemaslahatan yang tidak diatur oleh ketentuan syara' dengan mengakui atau tidaknya akan tetapi mengakuinya dapat menarik manfaat dan menolah kemadaratan.
4. Abdullah bin Abdul Husein
(maslahah marsalah) yaitu keaslahatan yang tidak jelas diakui atau ditolak oleh syara' dengan suatu dalil tertentu dan ia termasuk persoalan yang dapat diterima oleh akal tentang fungsinya.
2. Pembagian Maslahah Mursalah
a. Maslahah yang Dipakai (maslahah marsalah tabarah)
Maslahah golongan ini ialah marsalah yang sejalan dengan maksud-maksud umum syara' dan yang menjadi pedoman adanya perinath dan larangan syara'[4].
1). Maslahat Dlaruri
Yang dimaksud dengan marsalah-dlaruri ialah setiap perbuatan yang dimaksudkan untuk memlihara perkara yang lima, yaitu: jiwa agama, harta, akal fikiran, dan keturunan. Menurut pandangan syara' kelima perkara ini diharuskan adanya untuk terwujudnya kehisupan yang baik. Kalau salah satunya tidak ada tentunya kehidupan ini akan hancur dan mengalami kepincangan. Dasar penggolongan perbuatan kepada maslahah dlaruri ialah apabila perbuatan tersebut bermaksud memelihara perkara yang lima tersebut[5]. Dalam rangka perwujudan kemaslahatan ini haruslah dipelihara lima macam perkara yang dikenal dengan al-Maqasidul Khamsah atau ad Daruriatul Khamsah, yaitu[6]:
a). Agama, untuk maksud ini Islam antara lain mensyariatkan jihad untuk mempertahankan aqidah Islamiyah, kewajiban memerangi orang yang mencoba mengganggu umat Islam dalam menjalnkan kewajiban agama dan menghukum orang yang murtad dari Islam.
b). Jiwa, untuk maksud ini Islam antara lain mensyariatkan pemenuhan kebutuhan biologis manusia berupa sandang, pangan, dan papan, begitu pula hukum qisas atau diyaat bagi orang yang melakukan kesewenang-wenangan terhadap keselamatan jiwa orang lain.
c). Akal, untuk maksud ini Islam antara lain mensyariatkan larangan minum minuman keras dan segala sesuatu yang dapat merusak akal, dan menjatuhkan hukuman bagi setiap orang yang melanggarnya.
d). keturunan, untuk maksud ini Islam antara lain mensyariatkan larangan perzinaan, menuduh zina terhadap perempuan muhsonat, dan menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang melakukannya.
e). Harta, untuk maksud ini Islam antara lain mensyariatkan larangan mencuri dan menjatuhkan pidana potong tangan baggi setiap orang yang melakukanya, begitu pula larangan riba, bagi setiap orang yang membuat rusak atau hilangnya barang.
2). Maslahah Haji
Yang dimaksud dengan maslahah haji perbuatan-perbuatan atau tindakan-tidakan yang meskipun pemeliharaan perkara lima tersebut tidak tergantung kepadanya, namun perbuatan-perbuatan atau tindakan-tidakan diperlukan untuk memperoleh kelonggaran hidup menghilangkan kesempitannya, seperti mengadakan akad sewa-menyewa. Sebab dengan dibukanya perikatan sewa menyewa dalam lapangan keperdataan, maka perikatan ini bisa memenuhi kebutuhan yang besar, sebab setiap orang bisa memakai barang milik orang lain. Kalau sekiranya sewa-menyewa dilarang , tentunya kehidupan manusia akan terhenti, meskipun keadaan (susunan) masyarakat tidak rusak, akan tetapi akan mengalami kesulitan sebab setiap orang akan terpaksa harus memiliki sendiri barang-barang yang dibutuhkannnya, meskiipun kebutuhan tersebut hanya sementara waktu saja[7].
3). Maslahat Takmil
Yang dimaksud dengan maslahah takmil ialah suatu maslahah yang apabila tidak dikerjakan, kehidupan ini tidak mengalami kesulitan, akan tetapi perwujudan maslahah tersebut merupakan tanda akhlak yang luhur atau kebiasaan yang baik.
Jadi termasuk dalam usaha-usaha penyempurnaan terhadap apa yang pantas dan apa yang tidak pantas, seperti kesopanan-kesopanan dalam berbicara, makan dan minum, pembelanjaan harta dengan sedang, yakni tidak terlalu menghambur dan
tidak pula terlalu kikir[8].
b. Maslahah yang Tidak Dipakai
Maslahah yang tidak dipakai ialah suatu maslahah yang tidak bisa dipakai sebagai alasan penentuan suatu hukum. Yang menyebabkan tidak dipakainya maslahah tersebut ialah karena adanya maslahah lain yang lebih kuat.
Seperti ketentuan yang mempersamakan anak lelaki dengan anak perempuan dalam menerima warisan, alasan kedua-duanya sama dekattnya dan kebaikannya terhadap orang tuanya. Akan tetapi alasan (maslahah) ini tidak dianggap ada, sebaba kalau dipakai berarti akan menyia-nyiakan maslahah (alasan) lain yang lebih kuat dan yang diperlihatkan oleh syara' juga, yaitu bahwa tanggung jawab lelaki (suami) dalam pembiayaan rumah tangga adalah lebih banyak[9].
c. Maslahah yang Tidak Ada Ketegasannya
Maslahah golongan ini tidak seperti maslahah pertama karena ada ketegasan untuk memakainya, juga tidak seperti maslahah kedua, di mana jelas-jelas tidak dipakai, tetapi merupakan maslahah yang didiamkan oleh syara', sedang persoalan (maslahah) yang mirip dengan maslahah tersebut. Jadi tidak ada dalil yang menetapkan maslahah tersebut ataupun meniadakannya. Maslahah inilah yang disebut maslahah-mursalah dan yang diperselisihkan oleh para fuqaha[10]. Al-maslahah bentuk ketiga ini kemudian dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu sebagai
berikut[11]:
1. Al-maslahah al gharibah
Yaitu maslahah yang sama sekali tidak terdapat kesaksian syara' terhadapnya, baik yang mengakui maupun menolaknya dalam bentuk macam/species ataupun jenis/genus tindakan syara'. Dalam kenyataannya, maslahah bentuk ini hanya ada dalam teori, tidak ditemukan contohnya dalam kenyataan kehidupan sehari-hari.
2. Al-maslahah al-mula'imah
Yaitu maslahah yang meskipun tidak terdapat naskh tertentu yang mengakuinya, tetapi ia sudah sesuai dengan tujuan syara' dalam lingkup yang umum. Tujuan syara' ini dipahami dari makna umum yang terkandung di dalam al-Qur'an, hadis, dan ijma'. Maslahah inilah yang biasanya disebut dengan istilah al-maslahah al-mursalah.
B. Dasar dan Syarat-syarat Berlakunya Maslahah Mursalah
1. Dasar Berlakunya Maslahah Mursalah
Ketentuan-ketentuan (hukum-hukum) baru dalam syari'at Islam bisa diadakan oleh salah seorang faqih berdasarkan berdasarkan prinsip maslahah dengan berpedoman pada salah satu dari empat faktor berikut[12]:
a. Mewujudkan Kebaikan
Yaitu hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk menegakkan kehidupan atas dasar yang sebaik-baiknya, seperti mengadakan pajak-pajak yang adil guna menghadapi kepentingan umum atau proyek-proyek vital, pembatasan harga barang-barang agar bisa membatasi kerakusan pedagang dan menjaga kebutuhan orang banyak agar jangan sampai dipermainkan oleh mereka, mengadakan aturan-aturan lalu-lintas sesudah banyaknya pemakaian kendaraan-kendaraan bermotor dengan maksud tidak terjadi tabrakan dan pengorbanan jiwa dengan sia-sia, penentuan wewenang hakim dan tingkat-tingkat keputusan peradilan.
b. Menghindarkan Keburukan (Kerugian)
Yaitu hal-hal yang merugikan manusia, baik sebagai perseoranggan, maupun sebagai golongan, baik kerugian materil maupun kerugian moril. Sebagai contoh ialah penetapan tenggang waktu tanpa alasan yang sah sebagai dasar untuk menerima gugatan atas sesuatu yang lama, agar peradilan tidak akan mengalami kekacauan dalam mencari-cari kembali perkara-perkara yang telah lama berlalu dan agar orang banyak suka memperhatikan hak-haknya dengan baik.
c. Menutup Jalan
Sering-sering perbuatan yang dilarang dalam syara' sebenarnya bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena bisa mendatangkan perbuatan lain meskipun tidak disengajakan meskipun benar-benar dilarang, atau bisa menjadi jalan yang sengaja dipakai , melainkan karena bisa mendatangkan perbuatan lain, meskipun tidak disengajaka, yang memang benar-benar dipakai orang untuk sampai kepada perkara yang dilarang, yaitu yang dikenal dengan nama "ngakali undang-undang". Oleh karena itu setiap jalan atau cara yang dengan sengaja atau tidak sengaja bisa mendatangkan kepada larangan-larangan syara' dilarang. Di kalangan fuqaha terkenal dengan nama "sadduddzarai'i"(menutup jalan).
Sebagai contoh: seorang isteri yang diceraikan oleh suaminya tanpa kerelaannya, dalam keadaan menderita sakit berat, tetap mendapati warisan dari bekas suaminya itu apabila dalam keadaan iddah, suami meninggal dunia, agar hak menceraikan isteri yang diberikan kepada suami tidak bisa dipergunakan olehnya sebagai jlan menghalang-halangi isterinya jangan sampai menerima warisan yang sah dari padanya ketika ia tidak mempunyai harapan hidup dan bermaksud merugikan isterinya. Di kalngan fuqaha, perceraian tersebut dikenal dengan nama "thalaqul-firari" (talak untuk melarikan warisan isteri), atau "thalak-ut-ta'asufi" (talak semena-mena). Isteri tersebut tetap mendapat warisansebagai penutupan jalan bagi perbuatan lain, yaitu menghapuskan hak mewarisnya, meskipun boleh jadi suami tidak menyengajakan demikian.
d. Perobahan Masa
Di antara sebab-sebab yang menimbulkan perobahan hukum-hukum yang dihasilkan oleh ijtihadialah adanya perobahan masa yang lain daripada waktu terjadinya penetapan hukum tersebut, apakah karena penggantian cara hidup seperti timbulnya listrik dan alat-alat mesin yang merobah cara-cara hidup, ataukah karena adanya kerusakan akhlak manusia.
Sebagai contoh adalah tentang menyewakan tanah waqaf. Oleh fuqaha-fuqaha angkatan lama penyewaan tanah waqah boleh, baik lama atau sebentar. Akan tetapi setelah banyak ketidakjujuran orang-orang yang mengurusi harta waqaf dengan bekerja sama dengan orang-orang instansi yang mengawasi waqaf, maka fuqaha angkatan kemudian (mutaakhirin) tidak memperbolehkan penyewaan tanah-tanah waqaf untuk masa yang lebih drai satu tahun bagi bangunan-bangunan, atau lebih dari tiga tahun bagi tanah-tanah pertanian, sebab dikhawatirkan pada akhirnya pihak penyewa mengaku hak milik atas tanah waqah tersebut.
2. Syarat-syarat Berlakunya Maslahah Mursalah
Zakariyah al-Farisi dalam kitabnya Masadirul Ahkamil Islamiyah memberikan syarat-syarat sebagai berikut[13]:
a. Hendaknya kemaslahatan itu bersifat hakiki bukan bersifat imajinatif dalam arti apabila orang yang berkesempatan dan yang memusatkan perhatian pada itu yakin bahwa membina hukum berdasarkan kemaslahatan tersebut akan dapat menarik manfaat dan menolak madarat bagi umat manusia
b. Kemaslahatan itu hendaknya bersifat universal dan tidak parsial. Sebagai contoh ialah apa yang dikemukakan oleh al-Gazali yaitu: kalau dalam suatu pertempuran melawan orang kafir mereka membentengi diri dan membuat pertahanan melalui beberapa orang muslim yang tertawan, sedang oorang kafir tersebut dikhawatirkan akan melancarkan agresi dan dapat menghancurkan kaum muslimin mayoritas maka penyerangan terhadap mereka harus dilakukan, meskipun akan mengakibatkan kematian bebrapa orang muslim.
c. Hendaknya kemaslahatan itu bukan kemaslahatan yang mulgha yang jelas ditolak oleh nas. Sebagai contoh: fatwa Imam Yahya bin al-Yaisy, salah seorang murid Imam Malik dan ulama fikih Andalusia pada salah seorang rajanya pada waktu itu. Difawahkan bahwa bagi raja apabila ia berbuka puasa dengan sengaja pada bulan Ramadah ia tidak boleh tidak harus memenuhi kafarat berpuasa dan dua bulan berturut-turut. Dia berfatwa tanpa memberikan pemilihan antara memerdekakan budak atau berpuasa sebagaimana dipegangi oleh Imam Malik dan tidak pula dengan memerdekakan budak sebagaimana dipegangi oleh ulama-ulama yang lain karena dia berpendapat bahwa kemaslahatan akan dapat dicapai hanya dengan cara itu.
C. Pro dan Kontra Fuqaha terhadap Maslahah Mursalah
1. Pro Maslahah Mursalah[14]
Fuqaha pemakai prinsip maslahah dibagi menjadi dua, yaitu fuqaha mazhab Hanbali dan fuqaha mazhab Maliki dan Hanafi.
Menurut mazhab Hanbali peenrapan sesuatu nas, meskipun tidak qat'i, tidak dibatasi maslahah mursalah. Jadi pengertian dan keumuman nas harus diutmakan.
Fuqaha-fuqaha mazhab Maliki dan Hanafi berpendirian sebliknya, karena mereka hanya memakai ketentuan nas dalam hal-hal yang tidak akan melibatkan adanya perlawanan dengan maslahah, sebab dengan adanya maslahah yang ditetapkan menurut norma-norma syara' maka maslahah tersebut cukup menjadi dalil bahwa daerah penerapan nas yang dimaksudkan oleh syara' ialah hal-hal yang tidak bertentangan dengan maslahath tersebut.
Adapun alasan kelompok yang menerima maslahah sebagai sumber hukum adalah sebagai berikut[15]:
a. Dalam berbagai kenyataan para sahabat telah menggunakan maslahah sebagai dasar penetapan hukum.
b. Maslahah jika sejalan dengan tujuan pembinaan hukum, wajib dijadikan pegangan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri dan tidak dipandang keluar dari jalur hukum yang lain, sebab menggunakan maslahah tersebut berarti menunjang pencapaian tujuan pembinaan hukum dan sebaliknya membiarkannya berarti pula membiarkan tujuan itu, padahal membiarkan tujuan dimaksud merupakan tindakan yang tak dapat dibenarkan.
c. Jika pada suatu kasusu, menyatakan jelas terdapat maslahah yang sejalan dengan maslahah yang diakui oleh syara' kemudian maslahah itu dibiarkan begitu saja, niscaya mengakibatkan manusia akan mendapatkan kesulitan dan kesempitan.
2. Kontra Maslahah Mursalah[16]
Fuqaha tersebut ialah imam Syafi'i, di mana ia berpendirian bahwa sesuatu nas meskipun tidak qat'i, tidak bisa dibatsi keumumannya. Pendirian ini memang tepat, sebab kalau pada waktu tidak ada nas saja ia tidak mau memakai maslahah, maka terlebih lagi ketika ada nas yang menentangnya.
Meskipun demikian, namun dalam keadaan darurat sesuatu nas tidak bisa ditinggalkan dan harus memakai maslahah. Tetapi landasan hukumnyaini bukan prinsip maslahah melainkan prinsip "keadaan darurat" dan "memilih salah satu keburukan yang lebih ringan". Prinsip-prinsip tersebut disimpulkan dalam kaidah hukum yang berbunyi: "Adalah-dlaruratu tubihul madhlurati" (keadaan darurat membolehkan larangan-larangan).
Sebagai contoh ialah kalau dalam pertempuran melawan musuh, mereka bertamengkan orang-orang kita yang ditawan oleh mereka, sedang musuh dikhawatirkan akan menghancurkan kita, maka penyerangan terhadap mereka harus dilakukan, meskipun akan mengakibatkan kematian orang-orang kita yang sebenarnya harus dilindungi keselamatan jiwanya dengan nas al-Qur'an yang jelas.
Adapun alasan kelompok yang menolak adalah sebagai berikut[17]:
a. Bahwa Allah tidak akan membiarkan begitu saja tanpa mensyariatkan hukum yang dapat menjamin kemaslahatan mereka. Dengan demikian Allah telah mensyariatkan hukum-hukum melalui al-Qur'an dan as-Sunnah serta hukum-hukum yang dinisbatkan oleh ulama, lalu mereka tidak berselisih pendapat tentang itu. Begitu juga Allah telah memberikan petunjuk pada mereka bahwa jika mereka berbeda pandangna tentang masalah yang tidak ada ketentuannya dalam ak-Qur'an atau as-Sunnah atau Ijma' maka hendaknya masalah itu maka hendaknya masalah itu dikembalaikan pada sumber hukum di atas dengan cara analogi atau lainnya.
b. Bahwa semua kemaslahatan hakiki bagi manusia telah diaturnya sedemikian rupa oleh Allah baik dengan cara menetapkannya sebagai suatu ketentuan hukum atau dengan cara diakuinya maslahah sebagai dasar pembinaan hukum.
c. Bahwa maslahah yang terlepas dari dalil yang mengakui atau menolak adalah maslahah yang tidak jelas dan mengandung kemungkinan antara yang diakui atau ditolak. Dalam kondisi semacam ini tidak mustahil akan terselubung di dalamnya nafsu, keinginan dan kehendak subyektif manusia yang hanya kana mengakibatkan kekaburan antara mafsadah dan maslahah. Mafsadah mungkinmungkin dipandang sebgai maslahah, begitu juga sebaliknya. Akal pun tak mustahil akan dapat tertipu pula, akhirnya ia memberikan keputusan tanpa dasar pengetahuan yang sempurna.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Maslahah musrsalah ialah pembinaan (penetapan) hukum berdasarkan maslahat (kebaikan, kepentingan yang tidak ada ketentuan dari syara', baik ketentuan secara umum atau secara khusus. Adapun pembagian maslahah maslahah yaitu: (1) maslahah yang dipakai, (2) maslahah yang tidak dipakai, dan (3) maslahah yang tidak ada ketegasannya.
2. Dasar berlakunya maslahah maslahah adalah: mewujudkan kebaikan, menghindarkan keburukan (kerugian), menutup jalan, dan perobahan masa. Adapun syarat-syarat berlakunya maslahah mursalah adalah: hendaknya kemaslahatan itu bersifat hakiki, kemaslahatan itu hendaknya bersifat universal, dan hendaknya kemaslahatan itu bukan kemaslahatan yang mulgha.
3. Fuqaha yang pro maslahah mursalah yaitu fuqaha mazhab Hanbali dan fuqaha mazhab Maliki dan Hanafi. Sedangkan fuqaha yang kontra maslahah mursalah adalah fuqaha mazhab Syafi'i.
B. Saran
Dalam menggunaakan maslahah mursalah untuk menentukan hukum suatu masalah hendaknya disesuaikan dengan keadaan yang sedang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul fiqh.Jakarta: Amzah, 2010.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Zuhri, Saifuddin. Ushul Fiqih: Akal sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.